LaisaKamislihi Syaiun Surat. Unduh Gambar. Deskripsi Gambar. Nama Gambar. Laisa Kamislihi Syaiun Surat. Tipe Gambar. png. Dimensi Gambar. 1271 x 975 px. Besaran Gambar. 177.44 KiB. Buku Arti Mimpi Menurut Islam; Harley Davidson Logo Hd; Puisi Tentang Sepak Bola; Contoh Desain Uml; Halaman. Beranda; Tentang Kami; Kebijakan Situs; Syarat
- Melansir melalui laman facebook Kyai Abdul Wahab Ahmad, beliau membagikan sebuah tulisan mengenai Arti dan makna Laisa Kamitslihi Syai'un. Ayat ini merupakan sepenggalan awal QS. Asy-Syura ayat Kyai Abdul Wahab, bahwa para pengkaji akidah mengetahui ayat tersebut namun tidak semuanya tahu arti dan makna sesungguhnya dari ayat sebab itu Kyai Abdul Wahab atau yang kerap disapa Gus Wahab menjelaskan secara terperinci di status facebooknya, berikut isinyaDalam al-Qur’an, ada satu ayat yg menjadi kunci utama dalam memahami seluruh ayat/hadis terkait sifat Allah. Ayat itu adalahلَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱۖ وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ"Tiada satu pun yg sama dengan Allah. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" [Surat Asy-Syura 11]Semua pengkaji akidah tahu ayat itu, tapi tak semuanya tahu apa makna sebenarnya dari ayat yg tak tahu maksudnya akan mengira bahwa ayat itu berarti tak ada yg bentuknya/ karakter fisiknya sama dengan Allah. Dalam benak mereka, Allah itu punya fisik hanya saja bentuk & karakteristiknya kaifiyahnya tak mirip dengan segala bentuk fisik yg lain/jismun la kal ajsam. Mereka mengira bahwa Allah punya tangan yg tak sama dengan tangan kita, tangan hewan, tangan malaikat, tangan jin/tangan robot, tapi tetap tangan secara fisik. Demikian punya dengan wajah, mata, kaki & lainnya hanya berbeda kaifiyahnya saja, tapi tetap organ fisik. Mereka inilah yg disebut para ulama sebagai mujassimah & musyabbihah.$ads={1}Mereka ini tak pernah sadar bahwa kalau artinya demikian, maka tak ada istimewanya Allah dengan perkataan Laisa kamitslihi syai'un itu. Bukankah banyak sekali bentuk fisik yg unik tak ada duanya di seluruh penjuru semesta. Coba saja anda buat coretan acak di atas kertas, maka itu akan jadi coretan unik yg takkan anda temui di mana pun, sampai ke akhirat pun takkan menemukan yg sama dengan itu kecuali kalau difoto-copy, hehe. Coba anda buat bentuk abstrak dari tanah liat,/ bayangkan makhluk rekaan dalam kepala anda, maka hasilnya adalah sesuatu yg unik takkan mungkin sama dengan tubuh manusia pun unik takkan ada yg sama persis kaifiyahnya di seluruh penjuru semesta ini. Hitung saja rambutnya /scan sidik jari & retinanya kalau tak percaya. Dalam makna ini, maka sebagai manusia anda bisa berkata "laisa kamitsli syai'un" tak ada yg satu pun yg sama denganku & itu betul. Teman, saudara, & siapa pun bisa berkata seperti itu juga & itu semua apa spesialnya Allah berkata seperti itu di ayat di atas? Kalau maknanya hanya seperti di atas tadi, hanya tidak ada ada yg sama dalam hal bentuk & karakteristiknya kaifiyahnya dengan Allah, maka tak ada yg spesial bagi Allah sebab yg lain juga bisa berkata yg tetapi, para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah Asy'ariyah-Maturidiyah tidak demikian memahami ayat di atas. Makna ayat itu adalah Allah benar-benar berbeda secara mutlak, tak ada yg sama dari aspek mana pun, tak ada bandingannya yg otomatis tak ada jenis kategorisnya & tak bisa seluruh alam dunia terdiri dari jauhar entitas tunggal terkecil yg terdiri dari satu unsur, jisim entitas yg terdiri beberapa unsur & aradl aksiden, maka Allah bukan jauhar, jisim/aradl. Artinya bila mau bertele-tele, maka kita katakan bahwa Allah bukan zat cair, zat padat, zat gas, energi, partikel, massa, volume, ruang, warna, geraka,/apapun yg mampu dikenal/dibayangkan manusia. Lalu apa Allah itu kalau bukan semua hal? Allah ya Allah, titik.$ads={2}Dengan makna ini, maka apa bedanya Allah dengan yg lain? Jawabannya adalah berbeda dalam semua hal & hanya Allah satu-satunya yg berbeda dengan cara seperti ini. Adapun selain Allah, paling banter hanya beda kaifiyah bentuk/karakteristik saja, bukan beda dalam level Kyai Abdul Wahab AhmadDemikian Artikel " Arti dan Makna Laisa Kamitslihi Syai'un "Semoga BermanfaatWallahu a'lam BishowabAllahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah -
Sahabat Marilah kita bersama-sama memperbanyak amalia, sehingga terbukalah dinding rahasia. Dengan terbukanya hijab maka nur itu tajjalilah pada dirinya, sehingga kita menjadi gaib, dan sehingga k
Suatu waktu Aisyah bermanja di hadapan Muhammad Saw. Ia minum dan kemudian diletakkanlah gelas tersebut di atas meja. Lantas Nabi Saw. mengambil gelas itu dan menyeruput tepat di bekas bibir Aisyah. Ya, salah satu rekam kisah keromantisan Nabi Saw. bersama dalam banyak literatur dilukiskan sebagai sosok berparas cantik, itu sebab Nabi Saw. kerap memanggilnya Humaira. Aisyah juga dikenal sebagai seorang yang cerdas, sehingga patutlah menjadi pendamping Rasul Saw. Berkata Jibril, “Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia dan di akhirat.” HR. At-Tirmidzi. Dan, sejarah pun membuktikan, Aisyah tampil sebagai penuntut ilmu yang cerdas, yang senantiasa menimba hikmah langsung dari sumbernya, Nabi Saw., sang suami. Aisyah tercatat sebagai periwayat banyak hadis, paling tidak, ada hadis yang telah disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Aisyah adalah pendamping yang siaga membantu dan selalu memotivasi sang suami tercinta di tengah permusuhan dan beratnya berdakwah. Ia juga, baru saya ketahui setelah mendengar uraian Gus Baha tentang Isra Mikraj, adalah seorang pengaman konstitusi agama yang kukuh. Kenapa demikian?Gus Baha menjelaskan bahwa istilah mikraj itu sebetulnya istilah yang tak disepakati ulama. Dalam keyakinan ahli sunah suni, mengingkari isra itu kafir karena termaktub di Al-Quran. Namun, tak meyakini mikraj itu tidak apa apa, sebagian ulama hanya menghukumi fasik, berdasar riwayat Aisyah yang menandaskan, “Siapa mengatakan padamu bahwa Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pernah melihat Tuhannya, ia telah berdusta.” HR. Bukhari. Bisa pula dicek dalam hadis lazim kita baca atau kita dengar, peristiwa mikraj merupakan perjumpaan Nabi Saw. dengan rasul-rasul sebelum beliau, dan berikut bersemuka dengan penguasa alam semesta, Allah. Bahkan ada yang menggambarkan, saking dekatnya, jarak Nabi Saw. dengan-Nya sejarak dua ujung busur panah bahkan lebih dekat lagi. Aisyah membantah dan membacakan ayat “Dia tidak bisa dilihat oleh mata, tapi Dia menangkap semua mata. Dia Mahalembut lagi Mahatahu.” Al-An’am 103. Juga ayat “Tidak akan terjadi Allah bicara langsung kepada manusia, kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir, atau Ia mengutus utusan, lalu mewahyukan atas izin-Nya hal-hal yang Ia kehendaki. Allah sungguh Mahatinggi lagi Mahabijaksana.” Asy-Syura 51.Begitulah, alasan yang mendasari Aisyah mengingkari mikraj, tak lain tak bukan demi menjaga kaidah agama, laisa kamislihi syaiun, tiada satu pun yang menyerupai Allah Asy Syura 11. Bayangkan sekira Nabi Saw. melihat Allah dalam mikraj itu, dan terjadi dialog, pasti kita akan berpikir Allah duduk di atas sebuah singgasana. Nabi Saw. duduk bersimpuh di bawah. Lantas Allah menghibur nabi yang lagi dirundung duka, dan menurunkan titah secara langsung. Kemudian mereka saling berangkulan, dan seterusnya dan sebagainya. Penyangkalan Aisyah itu seakan mengingatkan kita, umat Muhammad Saw., bahwa Allah adalah wujud mutlak, sempurna, berdiri sendiri, dan tempat bergantung semua yang ada. Tuhan melayani makhluk-Nya dengan hukum dan tradisi Ketuhanan-Nya. Kita telah menyakini bahwa yang menghentikan kehidupan manusia, mengatur sirkulasi rezeki, dan yang menabur rahmat, itu semua berkat Allah. Tapi, kita juga paham bahwa ternyata yang bertugas di lapangan adalah Izrail, Mikail, dan sebagainya, dengan pelbagai cara sebab-akibat. Kita butuh uang misalnya, kita memohon kepada-Nya, dan Allah pun meluluskan dengan cara usaha dagang kita lancar, atau ada yang mengirimi kita uang, atau ada yang membebaskan utang-utang kita, dan begitu seterusnya.“Allahlah yang merezekikan si A, tapi dengan wujud riil ada seorang yang bertandang dan bertransaksi. Namun demikian, tetaplah diistilahkan Allah yang memberi rezeki, Allah yang merahmati. Walau Allah tidak datang langsung mengantar teh gula, atau salam templek kan!” canda Gus Baha. Dari situlah, Aisyah jelas hendak mengamankan konstitusi akidah Islam. Bahwa Allah adalah subjek yang tak dapat diobjekkan. Bahwa Allah wujud, tapi tak dapat dilihat, didengar, dibuktikan, dinyatakan, atau dibayangkan. Pokoknya, laisa kamislihi syaiun. Prinsipnya, kita jangan sampai terjebak untuk mendramatisasi wujud Tuhan. Sehingga sang Nabi Saw. pun memberi batasan kepada umat beliau untuk tak berpikir dzat Allah, tapi seyogianya menafakuri ciptaan-Nya saja. “Makanya ahli sunah itu yakin, melihat perempuan cantik atau larut dalam gelimang harta itu tidak disebut murtad. Namun, mengeklaim telah melihat Tuhan itu rawan murtad. Karena jelas laisa kamislihi syaiun.” simpul Gus juga Kisah Aisyah
AllahMaha Besar dan kita amat sangat tidak berdaya. Kita amat sangat kecil bahkan tidak ada. Bahkan dengan ciptaanNya misalnya matahari, kita hanyalah setitik yang sangat – sangat kecil. Besar dan kecil disini jangan kita fikirkan dengan ukuran sebab Allah itu laisa kamislihi syaiun.
MAKNA LAISA KAMITSLIHI SYAI'UNOleh Abdul Wahab AhmadDalam al-Qur’an, ada satu ayat yang menjadi kunci utama dalam memahami seluruh ayat atau hadis terkait sifat Allah. Ayat itu adalahلَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱۖ وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ"Tiada satu pun yang sama dengan Allah. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" [Surat Asy-Syura 11]Semua pengkaji akidah tahu ayat itu, tapi tak semuanya tahu apa makna sebenarnya dari ayat yang tak tahu maksudnya akan mengira bahwa ayat itu berarti tak ada yang bentuknya atau karakter fisiknya sama dengan Allah. Dalam benak mereka, Allah itu punya fisik hanya saja bentuk dan karakteristiknya kaifiyahnya tak mirip dengan segala bentuk fisik yang lain atau jismun la kal ajsam. Mereka mengira bahwa Allah punya tangan yang tak sama dengan tangan kita, tangan hewan, tangan malaikat, tangan jin atau tangan robot, tapi tetap tangan secara fisik. Demikian punya dengan wajah, mata, kaki dan lainnya hanya berbeda kaifiyahnya saja, tapi tetap organ fisik. Mereka inilah yang disebut para ulama sebagai mujassimah dan ini tak pernah sadar bahwa kalau artinya demikian, maka tak ada istimewanya Allah dengan perkataan Laisa kamitslihi syai'un itu. Bukankah banyak sekali bentuk fisik yang unik tak ada duanya di seluruh penjuru semesta. Coba saja anda buat coretan acak di atas kertas, maka itu akan jadi coretan unik yang takkan anda temui di mana pun, sampai ke akhirat pun takkan menemukan yang sama dengan itu kecuali kalau difoto-copy, hehe. Coba anda buat bentuk abstrak dari tanah liat, atau bayangkan makhluk rekaan dalam kepala anda, maka hasilnya adalah sesuatu yang unik takkan mungkin sama dengan tubuh manusia pun unik takkan ada yang sama persis kaifiyahnya di seluruh penjuru semesta ini. Hitung saja rambutnya atau scan sidik jari dan retinanya kalau tak percaya. Dalam makna ini, maka sebagai manusia anda bisa berkata "laisa kamitsli syai'un" tak ada yang satu pun yang sama denganku dan itu betul. Teman, saudara, dan siapa pun bisa berkata seperti itu juga dan itu semua apa spesialnya Allah berkata seperti itu di ayat di atas? Kalau maknanya hanya seperti di atas tadi, hanya tidak ada ada yang sama dalam hal bentuk dan karakteristiknya kaifiyahnya dengan Allah, maka tak ada yang spesial bagi Allah sebab yang lain juga bisa berkata yang tetapi, para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah Asy'ariyah-Maturidiyah tidak demikian memahami ayat di atas. Makna ayat itu adalah Allah benar-benar berbeda secara mutlak, tak ada yang sama dari aspek mana pun, tak ada bandingannya yang otomatis tak ada jenis kategorisnya dan tak bisa seluruh alam dunia terdiri dari jauhar entitas tunggal terkecil yang terdiri dari satu unsur, jisim entitas yang terdiri beberapa unsur dan aradl aksiden, maka Allah bukan jauhar, jisim atau aradl. Artinya bila mau bertele-tele, maka kita katakan bahwa Allah bukan zat cair, zat padat, zat gas, energi, partikel, massa, volume, ruang, warna, gerakan, atau apapun yang mampu dikenal atau dibayangkan manusia. Lalu apa Allah itu kalau bukan semua hal? Allah ya Allah, makna ini, maka apa bedanya Allah dengan yang lain? Jawabannya adalah berbeda dalam semua hal dan hanya Allah satu-satunya yang berbeda dengan cara seperti ini. Adapun selain Allah, paling banter hanya beda kaifiyah bentuk atau karakteristik saja, bukan beda dalam level bermanfaatSumber FB Ustadz Abdul Wahab Ahmad14 Januari 2021 pukul tauhid
artilaisa kamislihi syaiunkajian makrifat - bagian 61makrifat ayahanda tuan guru kh. ahmad fansyuri rahman----- Hakikat Insan - ALLAH & FIRMAN Bagaimana bisa Allah yang… Facebook لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌLAISA KAMITSLIHI SYAIUN Dialah Allah, Yang Maha Esa memahami laisa kamislihi syaiun - Ahmad - YouTube لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌLAISA KAMITSLIHI SYAIUN Bab 8 Soalan 52 Apakah maksud Allah melihat dengan SEKALI LIHAT? Allah mendengar dengan SEKALI DENGAR? Allah berkata dengan SEKALI KATA? Apa kaitannya dengan ayat KUN ALLAH SWT adalah Laisa Kamitslihi Syai’un - YouTube LAISA KAMISLIHI SYAIUN BERBANDING TRILOGY TAUHID ALA SEBUAH SEKTE - fitnah fitnah akhir zaman Pertuhankan hanya kepada Allah Tonnydreamtheater’s Blog Memahami Laisa Kamitslihi Syaiun Hikmah Buya Yahya - YouTube SITI JENAR - BONUS ARTIKEL Dzikrullah Bukan Ingat Allah tapi Sadar Allah Kata Dzikir memang kalau di terjemahkan menjadi ingat, tapi ketika dzikir tersebut di hubungkan dengan Allah “dzikrullah” maka objek ingat Laisa Kamislihi Syaiun Surat HARGAI - TVTarekat Rahasia ILLAHi - MARTABAT HATI Teringat ketika kakek ku berkata “cucuku.. cukup bagimu mengenalku lalu jagalah hati-mu selalu” .—————— Inilah hal yang menyatakan “MARTABAT HATI ” Hati itu ada 2 Apakah Allah Punya Wajah? Maksud Ayat Laisa Kamislihi Syai’un - Tadqiq Dakwah TQN PPSS Facebook Sholat dalam pandangan Ilmu Hakekat Jalan Akhirat Makna Laisa Kamitslihi Syaiun - Kajian Medina Allah Wujud Tiada Bertempat.. RAHSIA HAKIKAT SHOLAT LAISA KHAMISLIHI SYAIUN - TVTarekat Makna Laisa Kamitslihi Syaiun - Kajian Medina Khusus . Makrifat - ☆Haqikat Shalat Dan Perjalanan Hidup☆ Perjalanan hidup ataupun perjalanan dalam agama semua berdasarkan hukum dan aturan yg harus mampu dilalui dan ditaati serta mampu untuk dijalankan Kendati diri hanyalah seorang RAHSIA HAKIKAT SHOLAT Kitab Makrifat PDF Tasybih dan Tanzih Hai jiwa-jiwa nan tenang kembalilah… Ilmu Hikmah PDF Fitrah hakiki - 帖子 Facebook TvTarekat Ringkasan Mengenal Zikir Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat Zikir Rahsia - TVTarekat Makrifat tentang dzat Alllah sifat لَيْسَ كَمِثْلِهِ pada Alllah Allahu laysa kamithlihi shay' - Solo - YouTube keseluruhan Al Quran pada titik ba by siti sxn Hal Keadaan Tuhan ~ Pusaka Madinah Garis Besar Kitab Diri Yang Tersembunyi PDF Arti Laisa لَيْسَ dan Contoh Kalimatnya - TAMAN CINTA ALLAH TIDAK SERUPA DENGAN MAKHLUKYA doKTrin WAHDAH AL-WUJUD dalam nasKah RAMBANG Doktrin Wahdah AlWujud dalam Naskah Rambang Tegal Muhammad - [PDF Document] Fitrah hakiki - 帖子 Facebook MENGENAL DIRI, MENGENAL ALLAH~ - TVTarekat MAQOM AL MUWAHIDIN ''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''' ALAM ini se doKTrin WAHDAH AL-WUJUD dalam nasKah RAMBANG Doktrin Wahdah AlWujud dalam Naskah Rambang Tegal Muhammad - [PDF Document] Ajaran Mengenal Diri Studi Naskah Tasawuf yang Berkembang di Kalimantan Selatan Kajian Hadi ALLAH itu LAISA KAMISLIHI SYAIUN !!!! - YouTube Kumpulan Artikel Makrifat - 2 PDF Kitab Makrifat - Mempelajari Sholat Hakekat - ID5cfac9883cb60 Hal Keadaan Tuhan ~ Pusaka Madinah DOC NASKAH-NASKAH ILMU DAN AMALAN Abah Saddam - Fitrah hakiki - 帖子 Facebook Sandal jepit.. Sepasang sandal jepit Laman 2 KOSONG / ADAM. / MATI - TVTarekat MANUSIA PENANAMAN NILAI-NILAI SPIRITUAL DALAM KEGIATAN TAREKAT QADIRIYAH NAQSYABANDIYAH TQN DI LEMBAGA DAKWAH TQN SURYALAYA KABUPATEN CakNun Terbaru Allah Itu Laisa Kamitslihi Syaiun atau Tidak Menyerupai Apapun - YouTube Tuak Lombok Illahi - 1 PDF Mengenal Diri-Flip eBook Pages 201 - 250 AnyFlip AnyFlip PDF MANUSIA & TUHAN Erwin Saputra - NASKAH-NASKAH TAUHID Kitab Barencong Apk Download - APK free PENANAMAN NILAI-NILAI SPIRITUAL DALAM KEGIATAN TAREKAT QADIRIYAH NAQSYABANDIYAH TQN DI LEMBAGA DAKWAH TQN SURYALAYA KABUPATEN MANUSIA RAHSIA HAKIKAT SHOLAT - PDF Download Gratis One Mysterious Generation Official 489 2018 DUA KALIMAH SYAHADAH - akal baligh Kajian Hadi ALLAH itu LAISA KAMISLIHI SYAIUN !!!! - YouTube NASKAH-NASKAH TAUHID PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN keseluruhan Al Quran pada titik ba by siti sxn tenteraangin – Kajian Ilmu Ghaib Hakikat Shalat PDF Ilmu Hikmah [z0xj7xgywgln] MENGENAL DIRI, MENGENAL ALLAH~ - TVTarekat MANUSIA - PDF MANUSIA & TUHAN Erwin Saputra - Inilah Jawapan Satu Nama Allah Yang Tersembunyi 6 dec pg – MAKRIFAT TOK KENALI Bolehkah Membayangkan Dzat Allah? Islam NU Online PENANAMAN NILAI-NILAI SPIRITUAL DALAM KEGIATAN TAREKAT QADIRIYAH NAQSYABANDIYAH TQN DI LEMBAGA DAKWAH TQN SURYALAYA KABUPATEN Laisa kamislihi syaiun wahuwa samiul Basir ayat diatas menunjukkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala - Ilmu Hikmah [z0xj7xgywgln] MEMPELAJARI SHOLAT HAKEKAT Ini Jawaban Singkat di Mana, Bagaimana, Kapan, dan Berapa Allah Islam NU Online Makrifat tentang dzat Alllah sifat لَيْسَ كَمِثْلِهِ pada Alllah Mempelajari Sholat Hakekat [5143zxv5zolj] Mempelajari Sholat Hakekat [PDFTXT] RAHSIA HAKIKAT SHOLAT - PDF Download Gratis Makrifat Tok Kenali – MAKRIFAT TOK KENALI Dat laesa kamislihi wayang golek Lagu MP3 dan Video MP4 Download MB - Zona Lagu DOC NASKAH-NASKAH ILMU DAN AMALAN Abah Saddam - Mempelajari Sholat Hakekat [PDFTXT] Ngangsu Kaweruh - . MENEMPUH JLN KEROHANIAN DGN JLN DZIKIR ************************************************************* . 4 TAHAP DZIKIR ********************* 1. DZIKIR GHAFLAH LALAI 2. DZIKIR YAQAZAH SEDAR 3. DZIKIR KHUDUR Mempelajari Sholat Hakekat [5143zxv5zolj] ilmu hikmah - sejati - Tuhan dan CiptaanNya Hakikat Shalat PDF RAHSIA HAKIKAT SHOLAT Dat laesa kamislihi wayang golek Lagu MP3 dan Video MP4 Download MB - Zona Lagu PENANAMAN NILAI-NILAI SPIRITUAL DALAM KEGIATAN TAREKAT QADIRIYAH NAQSYABANDIYAH TQN DI LEMBAGA DAKWAH TQN SURYALAYA KABUPATEN PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN MEMPELAJARI SHOLAT HAKEKAT Dzikrullah Bukan Ingat Allah tapi Sadar Allah - Kajian Hakikat Huruf Hijaiyah Maret 2016

LAISAKAMISTLIHI SYAIUN. September 2, 2018 oleh Murid Dalam Tasawuf Jalan Nabi-Nabi. Dengan mengingat Allah (Dzikrullah), maka minda kita langsung Bersih dan Kosong, karena memang Allah yang sedang kita Ingat: Dia Tidak serupa dengan apapun juga, maka Dia tidak perlu dirupa-rupakan.

.بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد Allah berfirman لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ سورة الشورى 11 “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. QS. as-Syura 11. Penjelasan Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang berbicara tentang tanzih mensucikan Allah dari menyerupai makhluk, at-Tanzih al Kulliy; pensucian yang total dari menyerupai makhluk. Jadi maknanya sangat luas, dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah maha suci dari berupa benda, dari berada pada satu arah atau banyak arah atau semua arah. Allah maha suci dari berada di atas arsy, di bawah arsy, sebelah kanan atau sebelah kiri arsy. Allah juga maha suci dari sifat-sifat benda seperti bergerak, diam, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan sifat-sifat benda yang lain. Al-Imam Abu Hanifah berkata أنـّى يُشْبِهُ الْخَالِقُ مَخْلُوْقَـهُ "Mustahil Allah menyerupai makhluk-Nya". Dengan demikian Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, dari satu segi maupun semua segi. Al-Imam Malik berkata وَكَيْفَ عَنْهُ مَرْفُوْعٌ "Kayfa bagaimana; sifat-sifat benda itu mustahil bagi Allah". Perkataan al-Imam Malik ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dengan sanad yang kuat. Maksud perkataan al-Imam Malik ini adalah bahwa Allah maha suci dari al Kayf sifat makhluk sama sekali. Definisi al Kayf adalah segala sesuatu yang merupakan sifat makhluk seperti duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak dan lain–lain. الْمَحْدُوْدُ عِنْدَ عُلَمَاءِ التّوْحِيْدِ مَا لَهُ حَجْمٌ صَغِيْرًا كَانَ أوْ كَبِيْرًا، وَالْحَدُّ عِنْدَهُمْ هُوَ الْحَجْمُ إنْ كَانَ صَغِيْرًا وَإنْ كَانَ كَبِيْرًا، الذَّرَّةُ مَحْدُوْدَةٌ وَاْلعَرْشُ مَحْدُوْدٌ وَالنُّوْرُ وَالظَّلاَمُ وَالرِّيْحُ كُلٌّ مَحْدُوْدٌ. "Menurut ulama tauhid yang dimaksud dengan al-mahdud sesuatu yang berukuran adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al-hadd batasan menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela mempunyai ukuran dan disebut Mahdud demikian juga arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran dan disebut Mahdud ". Penjelasan Allah berfirman الْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ سورة الأنعام 1 "Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menjadikan kegelapan dan cahaya" QS. al An'am 1. Dalam ayat ini Allah ta'ala menyebutkan langit dan bumi, keduanya termasuk benda yang dapat dipegang oleh tangan Katsif. Allah juga menyebutkan kegelapan dan cahaya, keduanya termasuk benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan Lathif. Ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa pada Azal keberadaan tanpa permulaan tidak ada sesuatupun selain Allah, baik itu benda katsif maupun benda lathif. Dan ini berarti bahwa Allah tidak menyerupai benda lathif maupun benda katsif. Allah ta'ala menciptakan alam ini terbagi menjadi dua bagian benda dan sifat benda. Benda terbagi menjadi dua Pertama benda katsif yaitu benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti pohon, manusia, air dan api. Kedua Benda Lathif, yaitu benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya, kegelapan, ruh, udara. Masing-masing benda memiliki batas, ukuran, dan bentuk, Allah berfirman وَكُلُّ شَىْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ سورة الرعد 8 "Segala sesuatu bagi Allah memiliki ukuran yang telah ditentukan" QS. ar-Ra'd 8 Bahwa benda katsif memiliki ukuran adalah hal yang sudah jelas. Sedangkan mengenai bahwa benda lathif memiliki ukuran adalah sesuatu yang memerlukan pengamatan dan penelitian yang seksama. Cahaya misalnya memiliki tempat dan ruang kosong yang diisi olehnya, cahaya matahari menyebar ke areal/jarak yang sangat luas yang diketahui oleh Allah, ukurannya sangat luas. Sementara cahaya lilin ukurannya sangat kecil. Cahaya kunang–kunang yang berjalan di rerumputan di malam hari, Allah jadikan cahayanya sekecil itu. Cahaya yang paling luas adalah cahaya surga. Jadi masing-masing cahaya tersebut memiliki batas dan ukuran yang membatasinya. Kegelapan juga memiliki ukuran dan ruang kosong yang diisi olehnya. Kadang tempat kegelapan tersebut sempit dan kadang luas. Demikian juga angin memiliki tempat yang diisi olehnya. Para Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menimbangnya dan mengirimkannya sesuai dengan perintah dan ketentuan Allah. Ada angin yang dingin, angin yang panas. Ada angin yang Allah kirimkan untuk menghancurkan suatu kaum, begitu juga ada angin yang dikirimkan sebagai rahmat. Jadi masing-masing angin tersebut memiliki timbangan yang telah ditentukan oleh Allah. Demikian juga, ruh memiliki ukuran. Ketika ruh berada pada tubuh manusia, ruh berukuran sama dengan badan orang tersebut dan ketika ruh berpisah, meninggalkan badan seseorang ia bertempat di udara tanpa menyatu dengan jasadnya. Kesimpulannya; setiap makhluk pasti memiliki tempat, baik tempat yang besar maupun yang kecil. Benda paling kecil yang diciptakan oleh Allah dan bisa dilihat oleh mata adalah haba'. Haba' adalah sesuatu yang kecil yang terlihat apabila sinar matahari masuk ke dalam rumah dari jendela, nampak seperti debu yang kelihatan oleh mata, benda ini disebut haba'. Memang masih ada lagi benda yang lebih kecil dari haba', yang bahkan tidak dapat dilihat oleh mata karena sangat kecilnya, walaupun demikian tetap saja benda tersebut memiliki bentuk yaitu bentuk yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah yang disebut dalam istilah tauhid al-Jawhar al-Fard; bagian yang tidak bisa dibagi-bagi lagi. Al-Jawhar al-Fard adalah benda yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah, al-Jawhar al-Fard adalah asal bagi semua benda. Semua benda ini memilki batas dan ukuran dan karenanya membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, dan dengan begitu benda tidak sah menjadi tuhan. Ketuhanan hanya sah berlaku bagi yang tidak memiliki ukuran sama sekali, yaitu Allah yang maha suci dari status Mahdud Allah tidak memiliki batas dan ukuran. Makna Mahdud di sini tidak hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki bentuk kecil saja akan tetapi sesuatu yang memiliki bentuk yang besar juga disebut Mahdud. Sedangkan al-A'radl adalah sifat benda seperti bergerak, diam, warna, rasa dan lain–lain. Jadi di antara sifat benda adalah bergerak dan diam, sebagian benda terus-menerus bergerak, yaitu bintang, bahkan an-Najm al-Quthbi bintang yang bisa menunjukkan arah kiblat sekalipun bergerak, hanya saja gerakannya pelan dan bergerak di tempatnya. Sebagian benda lagi ada yang terus–menerus diam seperti tujuh langit yang ada. Sebagian benda lagi kadang diam dan kadang bergerak seperti manusia, malaikat, jin dan binatang. Termasuk di antara sifat benda juga adalah berwarna kadang sesuatu berwarna putih, ada yang berwarna merah, kuning atau hijau. Matahari juga memiliki sifat, di antara sifatnya adalah panas. Angin juga memiliki sifat di antara sifatnya adalah dingin, panas, berhembus dengan kuat atau pelan. Jadi Allah ta'ala yang menciptakan alam ini dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, maka Dia tidak menyerupainya, dari satu segi maupun semua segi. Allah ta'ala tidak menyerupai benda katsif maupun benda lathif dan juga tidak bersifat dengan sifat–sifat benda, Allah tidak menyerupai satupun dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, oleh karena itu Ahlussunnah mengatakan اللهُ مَوْجُوْدٌ بِلاَ مَكَانٍ وَلاَ جِهَةٍ "Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah". Allah menjadikan arah atas sebagai tempat bagi arsy dan para Malaikat yang mengelilinginya dan juga sebagai tempat bagi al-Lauh al-Mahfuzh dan lain-lain. Allah menjadikan manusia, binatang, serangga dan lain-lain bertempat di arah bawah. Jadi Dzat yang menciptakan sebagian makhluk bertempat di arah arsy dan sebagian yang lain di arah bawah mustahil bagi-Nya memiliki arah. Karena seandainya dikatakan dia berada di salah satu arah atau bertempat di semua arah niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah telah berfirman لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ سورة الشورى 11 "Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya". Inilah aqidah yang diyakini oleh semua kaum muslimin di negara-negara muslim; Indonesia, Mesir, Irak, Turki, Maroko, AlJazair, Tunisia, Yaman, Somalia dan daratan Syam, mereka semua dan yang lain di negara-negara lain semua mengajarkan keyakinan ini. Sedangkan orang yang meyakini bahwa Allah adalah benda yang sama besarnya dengan arsy, memenuhi arsy atau separuh dari arsy atau meyakini bahwa Allah lebih besar dari arsy dari segala arah kecuali arah bawah atau bahwa Allah adalah cahaya yang bersinar gemerlapan atau bahwa Allah adalah benda yang besar dan tidak berpenghabisan atau berbentuk seorang yang muda atau remaja atau orang tua yang beruban, maka semua orang ini tidak mengenal Allah. Mereka tidak menyembah Allah, meskipun mereka mengira diri mereka muslim. Mereka bukanlah orang yang menyembah beribadah Allah, yang mereka sembah adalah sesuatu yang mereka bayangkan dan gambarkan dalam diri mereka, sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Musibah mereka yang paling besar adalah bahwa mereka tidak memahami adanya sesuatu yang bukan benda. Oleh karena itu mereka –dengan segenap upaya- berusaha menjadikan Allah benda yang bersifat dengan sifat-sifat benda pula, lalu bagaimana bisa mereka mengaku mengenal dan memahami firman Allah Laysa Ka Mitsli Syai’ QS. Asy-Syura 11 dan beriman kepadanya?!! Seandainya mereka benar-benar mengetahui ayat tersebut dan beriman dengannya niscaya mereka tidak akan menjadikan Allah sebagai benda, karena alam ini seluruhnya adalah benda dan sifat-sifat yang ada padanya. Seandainya terjadi perdebatan antara orang-orang Musyabbihah orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya seperti orang Wahhabi -yang meyakini bahwa Allah adalah benda, yang memiliki ukuran- dengan orang yang menyembah matahari. Orang Wahhabi akan mengatakan kepada penyembah matahari Anda, wahai penyembah matahari, matahari yang engkau sembah ini tidak berhak untuk menjadi tuhan. Penyembah matahari akan menjawab dan berkata kepada orang Wahhabi bagaimana mungkin matahari tidak berhak untuk disembah, padahal bentuknya indah, manfaatnya sangat besar, anda bisa melihatnya dan saya juga melihatnya dan semua orang melihatnya, semua orang mengetahui dengan baik manfaatnya. Bagaimana mungkin agama saya batil dan agamamu benar, sementara anda menyembah sesuatu yang anda bayangkan dalam diri anda, anda tidak melihatnya dan kami juga tidak melihatnya, anda mengatakan tuhan anda adalah bentuk yang besar yang duduk di atas arsy ?!!. Orang Wahhabi tidak akan memiliki dalil 'aqli argumen rasional, seandainya orang Wahhabi mengatakan al Qur'an telah menegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam, Dia-lah yang berhak untuk disembah, tidak ada sesuatu selain-Nya yang berhak untuk disembah. Maka orang yang menyembah matahari tersebut akan mengatakan kepadanya Saya tidak beriman dengan kitab suci anda, berikan kepada saya dalil 'aqli bahwa matahari tidak berhak untuk dijadikan tuhan yang disembah dan bahwa apa yang anda sembah yang anda bayangkan dalam benak anda itu berhak untuk disembah! Maka orang Wahabi akan terdiam dan membisu. Sedangkan kita, Ahlussunnah memiliki jawaban yang rasional. Kita akan mengatakan kepada penyembah matahari matahari yang anda sembah, yang mempunyai ukuran tertentu dan bentuk tertentu, pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran dan bentuk tersebut. Sedangkan tuhan kami, Ia adalah sesuatu yang ada tetapi tidak menyerupai segala sesuatu yang ada, tidak menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, Dia tidak memiliki ukuran, tidak memiliki bentuk, tidak memiliki arah, tidak memilki tempat dan tidak memiliki permulaan. Inilah Dzat yang ada, yang kami sembah yang dinamakan Allah. Dialah yang berhak untuk disembah. Dia yang menciptakan matahari yang anda sembah, manusia dan segala sesuatu yang lain. Seorang Sunni; penganut akidah Ahlussunnah ketika mengeluarkan hujjah 'aqli ini tanpa mengatakan Allah ta'ala berfirman demikian, telah mampu mengalahkan orang kafir yang menyembah matahari tersebut. Maka segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita petunjuk kepada keyakinan yang benar ini, kita tidak akan menemukan kebenaran dan petunjuk semacam ini seandainya tidak karena mendapat petunjuk Allah. Al-Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ رَوَاه أبُو نُعَيم "Barang siapa beranggapan berkeyakinan bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah belum beriman kepada-Nya" Diriwayatkan oleh Abu Nu'aym W 430 H dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72. Penjelasan Maksud dari perkataan sayyidina Ali ini adalah bahwa orang yang berkeyakinan atau beranggapan bahwa Allah adalah benda yang besar atau kecil maka dia adalah kafir, tidak mengenal Allah, seperti orang yang meyakini bahwa Allah menempati salah satu arah seperti arah atas. Karena dengan keyakinan seperti ini orang tersebut telah menjadikan Allah mahdud memiliki ukuran, padahal setiap yang mahdud berukuran besar atau kecil pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, sementara yang membutuhkan itu lemah dan yang lemah mustahil menjadi tuhan. Dengan demikian dalam perkataan sayyidina Ali ini terdapat dalil yang jelas bahwa Allah maha suci dari hadd ukuran sama sekali. Maka barangsiapa yang menyandarkan kepada Allah sifat duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak maka sesungguhnya dia tidak mengenal Allah, dan barangsiapa berkeyakinan demikian terhadap Allah maka sesungguhnya ia seorang kafir yang rusak akidahnya. Haba' memiliki ukuran, semut memiliki ukuran, manusia memiliki ukuran, matahari memiliki ukuran, langit memiliki ukuran, arsy memiliki ukuran. Jadi masing-masing yang disebutkan memiliki ukuran dan membutuhkan kepada yang menjadikannya dengan ukuran tersebut. Jadi, setiap sesuatu yang memiliki ukuran pasti dia adalah makhluk, yang membutuhkan kepada selainnya dan lemah maka tidaklah sah baginya sifat ketuhanan. Ketuhanan hanya sah bagi yang tidak memiliki bentuk dan ukuran; yaitu Dialah Allah yang tidak membutuhkan kepada seluruh alam, Dialah yang tidak mempunyai bentuk dan ukuran. Al-Imam al-Ghazali semoga Allah merahmatinya berkata لاَ تَصِحُّ الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ “Tidak sah ibadah seorang hamba kecuali setelah mengetahui Allah yang wajib disembah”. Artinya barangsiapa yang tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya memiliki ukuran yang tidak berpenghabisan misalnya maka dia adalah kafir. Dan tidak sah bentuk-bentuk ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya. Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi 227-321 H berkata تَعَالَـى يَعْنِي اللهَ عَنِ الْحُدُوْدِ وَالغَايَاتِ وَالأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ "Maha suci Allah dari batas-batas bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar seperti wajah, tangan dan lainnya maupun anggota badan yang kecil seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya. Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut". Penjelasan Al-Imam ath-Thahawi adalah Ahmad bin Muhammad bin Sallamah, lahir tahun 227 H. Jadi beliau masuk dalam makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam خَيْرُ الْقُرُوْنِ قَرْنِي ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ رَوَاهُ التّرمِذِي "Sebaik–baik abad adalah abad-ku, kemudian satu abad setelahnya, kemudian satu abad setelahnya" HR. at-Tirmidzi Al-Imam ath-Thahawi menyebutkan perkataannya tersebut dalam kitab penjelasan aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, yang kitab ini telah dianggap baik dan diterima oleh seluruh ummat Islam dari generasi ke generasi. Makna dari “Ta'ala” adalah bahwa Allah maha suci Maksud perkataan ath-Thahawi bahwa Allah maha suci dari ”Hudud” adalah bahwa Allah maha suci dari Hadd sama sekali. Hadd adalah benda dan ukuran, besar maupun kecil. Suatu benda pasti berada pada suatu tempat dan arah. Sedangkan Allah maha suci dari berupa benda, berarti Allah ada tanpa tempat. Seandainya Allah adalah benda niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah ta'ala telah berfirman فَلاَ تَضْرِبُوْا لِلّهِ الأمْثَالَ سورة النحل 74 "Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi Allah"QS. an-Nahl 74 Dengan demikian barangsiapa mengatakan bahwa Allah memiliki hadd yang hadd tersebut tidak ketahui oleh kita, hanya Allah saja yang mengetahuinya maka sungguh orang ini adalah seorang yang kafir, karena dengan demikian dia telah menetapkan Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Maksud perkataan ath-Thahawi ”La Tahwihi al-Jihat as-Sittu...” bahwa Allah mustahil berada di salah satu arah atau di semua arah karena Allah ada tanpa tempat dan arah. Enam arah yang dimaksud adalah adalah atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang. Maksud perkataan ath-Thahawi ”Ka Sa-ir al-Mubtada’at” adalah bahwa semua makhluk diliputi oleh arah, sedangkan Allah tidak menyerupai makhluk-Nya dari satu segi maupun semua segi dan Allah tidak bisa digambaarkan dalam hati dan benak manusia. al-Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ روَاه أبُو الفَضْلِ التَّمِيْمِيُّ "Apapun yang terlintas dalam benak kamu tentang Allah, maka Allah tidak seperti itu". Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi. Jika ada pertanyaan Bagaimana hal demikian itu bisa terjadi bahwa ada sesuatu yang ada tetapi tidak bisa dibayangkan dan digambarkan dengan benak? Jawab Bahwa di antara makhluk ada yang tidak bisa kita bayangkan akan tetapi kita harus beriman dan meyakini adanya. Yaitu bahwa cahaya dan kegelapan keduanya dulu tidak ada. Tidak ada satupun di antara kita yang bisa membayangkan pada dirinya bagaimana ada suatu waktu atau masa yang berlalu tanpa ada cahaya dan kegelapan di dalamnya?! Meski demikian kita wajib beriman dan meyakini bahwa telah ada suatu masa yang berlalu tanpa dibarengi dengan cahaya dan kegelapan, karena Allah berfirman وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنّوْرَ سورةالأنعام 1 "...dan Dia yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya" QS. Al-An'am 1. Artinya bahwa Allah yang telah menciptakan kegelapan dan cahaya dari yang sebelumnya tidak ada. Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih utama kita beriman dan percaya tentang Allah Yang mengatakan tentang Dzat-Nya Laysa Kamitslihi Syai’ QS. Asy-Syura 11, maka Allah tidak tergambar dalam benak dan tidak diliputi oleh akal, Allah ada, maha suci dari bentuk dan ukura, ada tanpa tempat dan arah. Al-Imam ath-Thahawi juga berkata وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِـي الْبَشَرْ فَقَدْ كَفَرَ “Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”. Penjelasan Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir. Sifat–sifat manusia banyak sekali. Sifat yang paling nyata adalah baharu, yakni ”ada setelah sebelumnya tidak ada”. Di antara sifat manusia juga adalah mati, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, bergerak, diam, infi'al merespon peristiwa dengan kegembiraan atau kesedihan atau semacamnya yang nampak dalam raut muka dan gerakan anggota tubuh, turun dari atas ke bawah, naik dari bawah ke atas, berpindah, memiliki warna, bentuk, panjang, pendek, bertempat pada suatu arah dan tempat, membutuhkan, memperoleh pengetahuan yang baru, terkena lupa, bodoh, duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak, berjarak, menempel, berpisah dan lain–lain. Jadi barangsiapa mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia tersebut maka dia telah kafir. Al-Imam Ahmad ar-Rifa'i W 578 H dalam al-Burhan al-Mu-ayyad berkata صُوْنُوْا عَقَائِدَكُمْ مِنَ التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ مَا تَشَابَهَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ أُصُوْلِ الْكُفْرِ “Hindarkan aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur'an dan hadits yang mutasyabihat, sebab hal demikian merupakan salah satu pangkal kekufuran”. Penjelasan Al-Imam ar-Rifa'i hidup pada abad ke enam hijriyyah, beliau adalah seorang ahli hadits, ahli tafsir, pengikut al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dalam rumusan aqidah dan pengikut madzhab Syafi'i dalam fiqih. Beliau adalah orang paling mulia dan paling alim di masanya. Beliau sangat menekankan tanzih mensucikan Allah ta'ala dari menyerupai makhluk. Di antara perkataan beliau dalam masalah tanzih adalah perkataan yang beliau sebutkan dalam kitab al-Burhan al-Muayyad tersebut. Maksud perkataan beliau adalah bahwa orang yang mengambil zhahir sebagian ayat al Qur'an dan hadits Nabi, yang memberikan persangkaan bahwa Allah adalah benda yang bersemayam di atas arsy atau bahwa Allah berada di arah bumi atau bahwa Allah mempunyai anggota badan, bergerak dan yang semacamnya maka orang tersebut telah kafir. Seperti orang yang menafsirkan ayat الرّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى طه 5 dengan duduk maka orang tersebut telah kafir. Karena mengatakan duduk bagi Allah adalah cacian terhadap-Nya sebab duduk adalah sifat malaikat, Jin, manusia, anjing, babi dan monyet. Makna ayat tersebut yang benar adalah bahwa Allah maha menguasai arsy. Makna ini layak bagi Allah karena Allah telah menamakan Dzat-Nya اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّار يوسف 39 ”Allah maha esa lagi maha berkuasa”. Oleh karena itu orang-orang Islam biasa menamakan anak mereka dengan Abdul Qahir atau Abdul Qahhar, tidak ada seorangpun yang menamakan anaknya Abdul Jalis atau Abdul Qa'id. Demikian pula orang yang mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy dengan ada jarak antara Allah dengan arsy, artinya tanpa menyentuhnya maka tetap saja dia seorang yang kafir. Karena setiap sesuatu yang berada di atas sesuatu yang lain pasti berkemungkinan berukuran sama dengan sesuatu tersebut atau lebih besar atau lebih kecil. Dan segala sesuatu yang menerima ukuran maka dia adalah makhluk, yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut. Adapun pernyataan sebagian kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyah sekarang bahwa Allah berada di atas arsy yang di atas arsy tersebut tidak ada tempat pernyataan ini terbantahkan dengan hadits riwayat al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya bahwa Rasulullah bersabda إنّ اللهَ لَمَا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابٍ فَهُوَ مَوْضُوْعٌ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ إنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ "Sesungguhnya Allah ketika menciptakan makhluk menciptakan kitab tulisan yang terletak di atas arsy dan dimuliakan oleh Allah yang berbunyi sesungguhnya tanda-tanda rahmat-Ku lebih banyak dari tanda-tanda murka-Ku" HR. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya. Dan dalam riwayat Ibnu Hibban dengan redaksi وَهُوَ مَرْفُوْعٌ فَوْقَ الْعَرْشِ "Dan dia arsy terangkat diletakan di atas arsy". Dengan demikian hadits ini adalah dalil bahwa di atas arsy terdapat tempat. Karena bila di atas arsy tidak ada tempat maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan bahwas kitab tersebut diletakkan di atasnya. Adapun kata “’Indahu” dalam hadits tersebut adalah dalam makna “dimuliakan”, karena penggunaan kata “’Inda” mengandung makna untuk memuliakan, sebagaimana firman Allah tentang orang-orang yang saleh وَإنّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الأخْيَارِ ص 47 Kata “’Indana…” dalam ayat ini artinya untuk memuliakan bukan untuk menyatakan bahwa Allah berada pada tempat yang bertetanggaan atau bersampingan dengan tempat orang-orang saleh tersebut. Dengan demikian dalam keyakinan kaum Musyabbihah yang menetapkan Allah bertempat di atas arsy telah menjadikan kitab tersebut di atas sebagai keserupaan bagi-Nya. Ini artinya sama saja mereka telah mendustakan firman Allah “Laysa Kamitslihi Syai’ Qs. Asy-Syura 11. Demikian juga orang yang memahami firman Allah إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الآعراف 54 dengan menafsirkan bahwa Allah berada pada arah bawah atau arah bumi kemudian naik ke arah atas lalu menciptakan langit, kemudian Dia naik ke arsy lalu bersemayam bertempat maka orang ini telah menjadi kafir. Makna ayat yang benar adalah bahwa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan bahwa Allah sebelum menciptakannya telah menguasai arsy. Kata “tsumma” artinya dalam makna ”wa”; maknanya “dan”. Al-Imam Abu Manshur al-Maturidi berkata Firman Allah ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ artinya adalah " sungguh Allah telah menguasai arsy " . Begitu pula orang yang menafsirkan firman Allah فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ البقرة 115 diartikan dengan anggota tubuh atau bahwa Dia berada pada arah bumi maka dia seorang yang kafir. Makna yang benar; Wajhullah adalah Kiblat Allah, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Mujahid; murid dari sahabat Abdullah ibn Abbas. Demikian pula orang yang memahami firman Allah كُلُّ شَيءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَهْ القصص 88 dengan mengartikan bahwa alam ini adalah sesuatu maka ia akan punah, begitu pula Allah adalah sesuatu maka Dia akan punah, dan tidak ada sesuatu yang kekal dari Allah kecuali bagian wajah saja maka orang ini dihukumi kafir. Pemahaman buruk seperti ini sebagaimana penafsiran seorang Musyabbih yang bernama Bayan ibn Sam'an at-Tamimi. Adapun makna yang benar dari kata ”Wajhahu..” di atas adalah dalam makna ”kerajaan”, atau dalam makna ”sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah” sebagaimana takwil ini telah dinyatakan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Sufyan ats-Tsauri. Demikian juga orang menafsirkan firman Allah tentang perahu Nabi Nuh تَجْرِيْ بأعْيُنِنَا القمر 14 dengan anggota tubuh mata maka orang tersebut telah kafir. Adapun makna yang benar adalah ”memelihara”, artinya bahwa perahu Nabi Nuh tersebut berjalan dengan ”pemeliharan” dan ”penjagaan” dari Allah sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh para ahli tafsir. Demikian pula orang yang memahami firman Allah يَدُ اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ الفتح 10 dalam pengertian anggota tubuh maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar kata ”yad” di sini adalah ”al-’ahd”; artinya ”janji” sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama. Demikian pula orang yang menafsirkan firman Allah وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا الفجر 22 dalam makna bahwa Allah bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar adalah ”datang kekuasaan Allah”, artinya tanda atau pengaruh dari sifat kuasa-Nya, sebagaimana demikian telah ditafsirkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal sebagaimana telah diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Baihaqi dengan sanad yang kuat dari al-Imam Ahmad. Demikian juga dengan orang yang menafsirkan firman Allah أأمِنْتُمْ مَنْ فِي السّمَاءِ أنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ الملك 16 dengan mengatakan bahwa Allah mengambil tempat dilangit maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar dari maksud ”man fi as-sama’” adalah ”Malaikat”, sebagaimana pemahaman ini telah dinyatakan oleh Syaikh al-Huffadz al-Imam Zainuddin Abdrrahim al-Iraqi dalam kitab al-Amaliy al-Mishriyah. Dalam menafsirkan hadits ارْحَمُوْا مَنْ فِي الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ ”Sayangilah oleh kalian orang yang berada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh yang berada di langit”, al-Imam al-’Iraqi menafsirkannya dengan hadits riwayat lain dengan redaksi ارْحَمُوْا أهْلَ الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ أهْلُ السّمَاءِ "Sayangilah oleh kalian penduduk bumi niscaya kalian akan disayangi oleh penduduk langit", karena hadits yang kedua ini sangat jelas memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud adalah para Malaikat. Demikian juga orang yang menafsirkan hadits al-Jariyah as-Sauda yang terdapat dalam riwayat al-Imam Muslim dengan berkesimpulan bahwa Allah mengambil tempat di arah atas berada di langit maka orang ini telah kafir. Hadits ini oleh sebagian ulama tidak diambil dengan alasan bahwa hadits tersebut adalah mutharib hadits yang memiliki banyak redaksi yang satu sama lainnya berbeda-beda, karenanya mereka manganggapnya cacat, disamping karena telah menyalahi dasar keyakinan. Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah menghukumi ke-islam-an seseorang hanya karena mengatakan ”Allah di langit”, karena kata-kata ini adalah keyakinan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Bagaimana mungkin kata-kata ”Allah di langit” sebagai tanda bagi keimanan seseorang?! Sebagian ulama lainnya menerima hadits ini; namun tidak dipahami dalam makna zhahirnya, tetapi mereka mentakwilkannya. Bahwa pertanyaan Rasulullah kepada budak perempuan tersebut adalah dalam makna ”Bagaimana engkau mengagungkan Allah?”. Dan makna jawaban budak tersebut ”Fi as-Sama’” adalah dalam pengertian ”sangat tinggi derajat-Nya”. Maka berdasarkan pemahaman dua pendapat ulama tersebut di atas tidak ada jalan bagi orang-orang Wahhabi untuk membatah kita. Begitu juga dengan orang yang menafsirkan hadits Nabi يَنْـزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السّمَاءِ الدُّنْيَا حِِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرِ يَقُوْلُ مَنْ يَدْعُوْنِي فأسْتَجِيْبَ لَهُ منْ يَسْألُنِيْ فأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ dengan menafsirkan bahwa Allah bergerak dan turun dari atas ke langit dunia dan berdiam di sana sampai terbit fajar kemudian setelah itu Dia naik ke arah arsy maka orang tersebut telah menjadi kafir. Yang sangat mengherankan dari kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah sekarang, mereka meyakini bahwa Allah sama besar dengan arsy, lalu mereka mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia, padahal mereka tahu bahwa besarnya langit dunia dibanding besarnya arsy seperti setetes air dibanding lautan luas, ini artinya dalam keyakinan mereka bahwa Allah ketika turun ke langit dunia menjadi sangat kecil, na’udzu Billah. Ini merupakan bukti nyata akan kebodohan akal mereka. Lalu dengan pemahaman tersebut mereka juga berarti menetapkan bahwa perbuatan Allah hanya turun dan naik saja agar bersesesuaian dengan masing-masing sepertiga akhir malam di setiap bagian bumi ini oleh karena sepertiga akhir malam itu berbeda–beda satu wilayah dengan lainnya. Ini juga merupakan bukti nyata akan kebodohan akal mereka. Makna yangbenar dari hadits tersebut adalah bahwa Malaikat turun dengan perintah Allah ke langit dunia, hingga ketika datang sepertiga akhir malam maka mereka menyeru bagi penduduk bumi sesuai apa yang diperintahkan oleh Allah sehingga terbit fajar “Sesungguhnya Tuhan kalian berkata Barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku beri ia, barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku maka akan Aku kabulkan baginya, barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni ia”. Pemahaman ini sebagaimana terdapat dalam riwayat al-Imam an-Nasa-i dengan riwayat shahih bahwa Rasulullah bersabda إنَّ اللهَ يُمْهِلُ حَتَّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوَّلُ فَيأْمُرُ مُنَادِيًا فَيُنَادِيْ .... “Sesungguhnya Allah membiarkan malam berlalu hingga lewat separuh malam pertama, setelah itu lalu Allah memerintahkan kepada malaikat untuk menyeru bagi penduduk bumi, maka ia berseru…..”. Kemudian dari pada itu sebagian para perawi al-Imam Bukhari telah memberi harakat “Dlammah” pada kata “Yanzilu..” menjadi “Yunzilu…”, dengan demikian maknanya semakin jelas bahwa yang turun ke langit dunia tersebut adalah adalah malaikat; dengan perintah Allah. Kesimpulannya, siapapun yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, walaupun hanya dengan satu sifat saja, maka dia digolongkan sebagai Musyabbih Mujassim, dan sesuangguhnya seorang Mujassim itu seorang yang kafir sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’i. Adapun makna perkataan al-Imam ar-Rifa’i tersebut di atas adalah bahwa berpegangteguh dengan makna-makna zhahir dari teks-teks mutasyabihat, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadits, maka hal itu telah menjatuhkan banyak orang dalam kekufuran, karena hal itu telah menjatuhkan mereka dalam keyakinan tasybih. Al-Imam Ahmad ar-Rifa’i juga berkata غَايَةُ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ الإيْقَانُ بِوُجُوْدِهِ تَعَالَى بِلاَ كَيْفٍ وَلاَ مَكَانٍ “Puncak pengetahuan seseorang itu kepada Allah adalah dengan berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa sifat benda dan tanpa tempat“. Maksudnya adalah bahwa puncak yang dapat diraih oleh seorang hamba untuk mengenal Allah adalah meyakini keberadaan-Nya tanpa mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda, dan meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sesungguhnya ini inilah puncak pengetahuan ma’rifah kepada Allah dari para Nabi dan para Malaikat, serta para wali Allah. Karena mengenal ma’rifah Allah Allah bukan dengan cara membayangkan, bukan dengan cara memprakirakan, dan juga bukan dengan cara menyerupakan-Nya. Allah bukan benda dan Allah juga tidak dapat diperumpamakan oleh gambaran dan pikiran manusia. Sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran maka pasti bisa digambarkan oleh akal pikiran, sementara Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran maka Dia tidak dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia. Mengenal Allah cukup dengan meyakini-Nya bahwa Dia Maha ada, tidak dengan membayangkan-Nya berada pada arah tertentu; seperti arah atas. Jika orang Wahabiy mengatakan “Sesuatu yang ada itu harus memiliki arah dan tempat, bagaimana kalian mengatakan bahwa Allah ada tanpa arah dan tempat?!”, kita katakan kepadanya bahwa jika Allah memiliki arah dan tempat niscaya Dia akan mempunyai banyak keserupaan, juga jika Dia memiliki arah maka berarti ada yang menjadikan-Nya pada arah tersebut, padahal setiap yang ”dijadikan” itu pastilah dia itu makhluk, bukan Tuhan. Demikian inilah makna yang dimaksud dari perkataan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i di atas, dan beliau adalah seorang yang sangat mendalam dalam ilmu akidah, beliau telah mengungkapkan perkataannya tersebut dalam kitab “Halatu Ahl al-Haqiqah Ma’a Allah “ . Sebagian ulama berkata عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ يَا صَاحِبَ الْحِجَا لِتَسْلَمَ فِي الدُّنْيَا وَيَوْم القِبَامَة “Hendaklah anda memperpanjang diam wahai orang yang punya akal, agar selamat di dunia dan akhirat / kiamat.” Perkataan ini diambil dari sabda Rasulullah kepada Abu Dzar عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ إلاّ مِنْ خَيْرٍ فَإنّهُ مَطْرَدَةٌ لِلشّيْطَانِ عَنْكَ وَعَوْنٌ لَكَ عَلَى أمْرِ دِيْنِكَ رواه ابن حبان “Hendaklah kamu memperpanjang diam kecuali kepada hal yang baik, karena demikian itu dapat megalahkan syaitan dan menolong kamu dalam urusan agamamu “ HR. Ibnu Hibban. Seorang yang memiliki akal cerdas adalah orang yang selalu menghadirkan makna firman Allah مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ ق 18 “Tidaklah seseorang itu berucap dari sebuah perkataan kecuali dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid“ QS. Qaf 18. Dia tidak akan berkata-kata kecuali bila ada manfaatnya. Wa Allah A’lam Bi Ash-Shawab, Wa Ilaih at-Tuklan Wa al-Ma’ab.
lamunaya jalma nu nanya kumaha allah ? jawabna ; ari allah eta laisa kamislihi syaiun, teu aya anu nyamian kana dzat na gusti allah ta'ala jadi teu aya makhluk anu nyamian kana dzatna gusti allah ta'ala, ari allah eta anu maha sampurna ari allah eta anu berbeda jeung sakabeh makhlukna. jadi jalma anu ninggalkeun kata kumaha allah eta sampurna

Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan; tidak pula ada seorang pun yang setara dengan-Nya.” QS al-Ikhlas [112] 1-4.Sabab an-Nuzûl Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Aliyah, dari Ubay bin Kaab ra., bahwa kaum musyrik pernah berkata kepada Nabi saw, “ Wahai Muhammad, sebutkanlah nasab Tuhanmu kepada kami!” Lalu Allah SWT menurunkan surat ini. Riwayat senada juga disampaikan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Jarir. Abu Ya’la meriwayatkannya dari Jabir ra. 1. Keutamaan Surat al-Ikhlas Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa ada seorang laki-laki yang dikirim dalam sebuah sariyah ekspedisi perang. Dia membaca al-Quran dalam shalat dengan teman-temannya, lalu dia menutupnya dengan surat ini. Setelah kembali, mereka menyampaikannya kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda, “ Tanyakanlah kepadanya, mengapa dia mengerjakan itu.” Mereka pun bertanya kepada orang itu, lalu dia menjawab, “Karena itu sifat Ar-Rahmân dan aku senang membacanya.” Kemudian beliau bersabda, “Kabarkanlah kepadanya bahwa Allah SWT mencintainya.” Dari Imam Ahmad dan at-Tirmidzi, dari Anas ra., pernah ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Sesungguhnya saya mencintai surat ini Qul huwal-Lâh Ahad dst.” Rasulullah saw. bersabda, “ Kecintaanmu terhadapnya memasukkanmu ke dalam surga lafal hadis dari Imam Ahmad.” Imam al-Bukhari dan Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “ Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya surat al-Ikhlas itu setara dengan sepertiga al-Quran .” Tafsir Ayat Allah SWT berfirman Qul huwal-Lâh Ahad Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa.”. Perintah Qul dalam ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Apabila dikaitkan dengan sabab nuzûl -nya, perkataan itu merupakan jawaban atas pertanyaan kaum musyrik mengenai sifat Tuhan yang beliau dakwahkan. Perintah itu juga berlaku bagi seluruh umatnya, sebab khithâb al-Rasûl khithâb li ummatihi seruan kepada Rasul, juga seruan kepada umatnya. Dalam ayat ini, beliau dan umatnya diperintahkan untuk mengatakan Huwal-Lâh Ahad ; bahwa Tuhan yang mereka tanyakan itu adalah Allah dan Allah itu hanya satu. Sebab, kata ahad bermakna wâhid satu. 2. Bahkan ditegaskan al-Baghawi, tidak ada perbedaan makna antara ahad dengan wâhid . 3. Kendati sama-sama menunjuk pada jumlah satu, menurut sebagian mufassir ada perbedaan di antara keduanya. Dinyatakan oleh al-Azhari bahwa sifat ahadiyyah hanya digunakan untuk Allah. Sebagai buktinya, tidak dikatakan rajul ahad wa dirhâm ahad, tetapi dikatakan rajul wâhid wa dirhâm wâhid. 4. Pendapat senada juga dikemukakan Tsa’lab. 5. Mengenai pengertian ayat ini secara keseluruhan, Ibnu Katsir memaparkan, “ Dialah al-Wâhid al-Ahad; tidak ada yang setara dan pembantu; tidak ada sekutu, yang serupa dan sepadan dengan-Nya. Ungkapan ini tidak diucapkan kepada siapa pun kecuali Allah Azza wa Jalla. Sebab, Dia Mahasempurna dalam semua sifat dan perbuatan-Nya.” 6. Dalam ayat berikutnya kemudian ditegaskan Allâh ash-Shamad Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dijelaskan az-Zamkhsyari dan asy-Syaukani, kata ash-shamad merupakan fi’l yang bermakna maf’ûl . 7. Menurut asy-Syaukani, kata tersebut seperti halnya kata al-qabdh yang bermakna al-maqbûdh yang digenggam. Kata ash-shamad pun demikian, bermakna al-mashmûd ilayhi , yakni al-maqshûd ilayhi yang dituju. Jadi, makna ash-shamad adalah al-ladzî yushmadu ilayhi fî al-hâjat pihak yang dituju atau dijadikan sebagai sandaran dalam berbagai kebutuhan. Hal itu disebabkan karena keberadaan-Nya yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan. 8. Penjelasan yang sama dikemukakan al-Qurthubi, al-Sa’di, dan al-Zuhaili. 9. Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, juga berpendapat demikian. Menurutnya, pengertian ini sejalan dengan QS an-Nahl [16] 53. 10. Selain makna itu, ada beberapa makna ash-shamad yang disampaikan oleh para mufassir. Menurut Ibnu Abbas dalam riwayat lain, Said bin Jubair, Mujahid, al-Dhahhak, Ikrimah, dan al-Hasan, kata ash-shamad berarti Zat yang tidak lapar. asy-Sya’bi juga memaknainya sebagai Zat yang tidak makan dan tidak minum. 11. Abu Aliyah memaknai ash-shamad sebagai Zat yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Sebab, tidak ada yang beranak kecuali dia diwarisi; dan tidak ada yang diperanakkan kecuali dia akan mati. Allah SWT pun memberitakan kepada kita bahwa Dia tidak diwarisi dan tidak beranak. 12. Ubay bin Kaab juga berpendapat bahwa makna ash-shamad dijelaskan oleh ayat sesudahnya Lam yalid walam yûlad; walam yakun lahu kufuw[an] ahad. 13. Penafsiran lain diberikan Qatadah dan al-Hasan. Keduanya mengatakan bahwa ash-shamad bermakna al-bâqi yang kekal. Kendati demikian, sebagaimana ditegaskan Ibnu Jarir ath-Thabari, penafsiran yang lebih tepat adalah yang sesuai dengan makna yang telah dikenal oleh orang yang bahasanya digunakan al-Quran. Menurut orang Arab, makna ash-shamad adalah as-sayyid yang dituju atau dijadikan sebagai sandaran; dan tidak ada seorang pun yang di atasnya. 14. Dikatakan juga oleh Ibnu Anbari bahwa tidak terdapat perbedaan di kalangan ahli bahasa bahwa ash-shamad adalah as-sayyid yang tidak ada lagi seorang pun di atasnya, yang semua manusia bersandar kepada-Nya dalam semua urusan dan kebutuhan mereka. 15. Selanjutnya Allah SWT berfirman Lam yalid walam yûlad Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan. Ayat ini memberikan pengertian bahwa tidak lahir dari-Nya anak; Dia juga tidak lahir dari sesuatu apa pun. 16. Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa disebutkan lam yalid karena tidak ada yang sejenis dengan-Nya sehingga bisa dijadikan oleh-Nya sebagai istri, kemudian dari mereka lahirlah anak. Makna ini juga ditunjukkan oleh QS al-An’am [6] 101. 17. Meskipun dalam ayat ini digunakan kata lam, bukan berarti hanya menafikan masa lampau. Sebab, ayat tersebut berlaku abadi. Demikian pula nafiy dalam ayat ini. Menurut Fakhruddin ar-Razi, digunakannya kata lam karena merupakan jawaban atas ucapan mereka mengenai anak Allah SWT QS ash-Shaffat [37] 151-152. Kemudian surat ini diakhiri dengan firman-Nya walam yakun lahu kufuw[an] ahad dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya. Maknanya, Allah Yang Maha Esa itu tidak ada yang menandingi atau menyamai-Nya. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, kata al-kufu’ wa al-kufâ wa al-kifâ’ dalam bahasa Arab memiliki satu makna, yakni al-mitsl wa asy-syibh semisal dan serupa. 18. Itu berarti, tidak ada satu pun yang setara, sepadan, semisal atau sebanding dengan-Nya. Gambaran tentang Tauhid Dari segi jumlah ayat, surat ini tergolong singkat, hanya terdiri empat ayat. Kendati begitu, kandungan isinya amat padat. Keimanan kepada Allah SWT yang menjadi perkara mendasar dalam Islam dijelaskan amat gamblang. Tidak mengherankan jika Rasulullah saw. menyebut surat ini setara dengan tsuluts al-Quran sepertiga al-Quran. Dalam surat ini terdapat pelajaran penting. Setidaknya ada tiga perkara penting yang perlu ditandaskan kembali. Pertama asmâ’ nama Tuhan yang patut disembah. Sebagaimana telah diungkap, surat ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan kaum musyrik mengenai Tuhan yang disembah Rasulullah saw. Ditegaskan dalam surat ini bahwa Huwal-Lâh Dia adalah Allah. Allah adalah nama Zat Pencipta alam semesta ini. Menurut al-Biqa’, nama ini—yakni Allah—menunjuk semua sifat kesempurnaan al-Jalâl wa al-Jamâl. Nama ini juga mencakup seluruh makna al-asmâ’ al-husnâ. 19. Bahwa nama Rabb al-âlamîn adalah Allah, amat banyak disebut dalam al-Quran. Dengan nama itu pula manusia diperintahkan untuk memanggil dan berdoa kepada-Nya QS al-Isra’ [17] 110. Oleh karena itu, manusia hanya boleh menyebut-Nya dengan nama yang telah diberitakan-Nya, yakni Allah, Ar-Rahmân, atau al-asmâ’ al-husnâ lainnya. Manusia tidak boleh memanggil-Nya dengan nama lain yang dibuat sendiri QS Yusuf [12] 40. Kedua tawhîdul-Lâh atau pengesaan terhadap Allah. Secara tegas dalam surat ini disebutkan bahwa Allah SWT itu Ahad. Dia hanya satu, bukan dua, tiga, atau lebih sebagaimana yang lazim diklaim oleh kaum kafir. Perkara ini amat banyak diberitakan dalam ayat al-Quran. Bahkan perkara ini didakwahkan oleh semua nabi dan rasul yang diutus Allah SWT. Tidak ada seorang pun di antara mereka kecuali mengajak pada tauhid lihat QS al-Anbiya’ [21] 25; asy-Syura [42] 13. Keesaan Allah juga ditegaskan dalam ayat lam yalid walam yûlad ; bahwa Allah tidak memiliki anak; tidak pula menjadi anak bagi selain-Nya; tidak ada pula yang diangkat dan dijadikan sebagai anak-Nya lihat QS al-Isra’ [17] 111; Yunus [10] 68. Keesaan Allah disebutkan dalam firman-Nya walam yakun lahu kuffuw[an] ahad; bahwa tidak ada yang sama, serupa, sejenis, setara atau sebanding dengan-Nya. Dia berbeda dengan semua makhluk-Nya QS al-Syura [42]11. Perkara tauhid ini merupakan perkara paling mendasar yang harus diimani oleh setiap manusia. Siapa pun yang menganggap tuhan lebih dari satu, memiliki anak atau ada yang setara dengan-Nya, maka dia telah terjatuh dalam kekufuran dan kesyirikan. Jika dicermati, semua agama selain Islam dalam konsep ketuhanannya telah terjatuh dalam kesalahan mendasar ini. Di antara agama itu ada yang menganggap selain Allah sebagai tuhan, tuhan lebih dari satu, atau ada makhluk yang setara dengan-Nya; tidak terkecuali agama yang sebelumnya dibawa oleh para nabi, seperti Yahudi dan Nasrani. Kedua agama itu pun dikotori hawa nafsu manusia sehingga terjatuh dalam kesyirikan. Yahudi menyebut Uzair sebagai anak Allah. Nasrani menyebut Isa sebagai anak Allah lihat QS at-Taubah [9] 30; al-Maidah [5] 72. Isa sendiri tidak pernah mengatakan perkataan batil itu lihat QS al-Maidah [5] 116. Dalam al-Quran cukup banyak ayat memberikan bantahan atas kebatilan anggapan Tuhan lebih dari satu. Dalam QS al-Anbiya’ [21] 22 ditegaskan, seandainya ada banyak tuhan selain Allah, maka langit dan bumi akan binasa. Orang-orang yang menganggap tuhan lebih dari satu, memiliki anak, atau menyekutukan-Nya dengan yang lain telah diancam dengan hukuman yang amat keras. Apabila mati dalam keadaan demikian maka dosanya tidak akan diampuni lihat QS al-Nisa [4] 48, 111. Surga diharamkan atas mereka. Neraka adalah tempat kembali mereka di akhirat; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya lihat QS al-Maidah [5] 72-73. Ketiga kesempurnaan sifât Allah. Dalam surat ini disebutkan bahwa Allah itu ash-shamad. Dalam al-Quran, kata ini hanya disebut dalam surat ini. Jika dicermati, sifat ini memiliki cakupan makna yang amat luas sekaligus meniscayakan adanya sifat-sifat lainnya. Sebagaimana telah dipaparkan, kata ini mengandung pengertian bahwa Dia adalah as-sayyid tertinggi dan tidak ada yang lebih tinggi lagi. Artinya, Dia memang Mahatinggi Al-Aliyy, Mahaagung Al-Azhîm dan semua sifat lainnya yang menunjukkan ketinggian-Nya. Kata ash-shamad juga mengandung makna bahwa Dia tidak memerlukan yang lain. Itu berarti, sebagaimana diterangkan az-Zamakhsyari, Dia adalah Al-Ghaniyy Mahakaya, tidak butuh terhadap yang lain. 20. Karena tidak membutuhkan yang lain, berarti Dia juga Al-Qadîr Mahakuasa, Al-Qawiyy Mahakuat, Al-Azîz Mahaperkasa, Al-Hayy Mahahidup dan semua sifat yang menunjukkan kekuatan-Nya. Allah juga menjadi sandaran dan tempat bergantung bagi semua makhluk-Nya. Dialah yang menciptakan semua makhluk-Nya Al-Khâliq , menghidupkan mereka Al-Muhyî , memberikan rezeki kepada mereka Ar-Razzâq, Ar-Razîq dan menolong hamba-Nya An-Nâshir serta semua semua sifat lainnya yang menunjukkan bahwa Dia menjadi sandaran dan tempat bergantung bagi seluruh hamba-Nya. Dengan demikian, hanya kepada-Nyalah manusia beribadah dan bermohon. Walhasil, surat ini memberikan gambaran amat jelas mengenai keimanan kepada Allah SWT. Sebagaimana disimpulkan Abdurrahman as-Sa’di, surat ini mencakup tawhîd al-asmâ’ wa al-shifât. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

. 444 179 364 126 49 296 406 121

arti laisa kamislihi syaiun